Yogyakarta,Forum Komunikasi Pelajar
dan Mahasiswa Katolik Papua (FKPMKP) Yogyakarta menggelar diskusi public dalam
rangka memperingati Hari Pers Nasional 2013, Sabtu, (9/2) di Yogyakarta.
Mereka membahas independensi media massa di Indonesia,
khususnya di Papua dan akses jurnalis asing ke Papua.
Pada diskusi bertema Keberpihakan
Pers Terhadap Masyarakat Papua itu,
Tommi Apriando, wartawan mongabay.co.id megatakan, di Indonesia masih ada
banyak penyelewengan tanggung jawab dan kewenangan dari para jurnalis.
Media besar seperti Media Indonesia
dan Metro TV saja sepenuhnya dikendalikan oleh Surya Paloh. Jika ada
wartawannya yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan perintah, wartawan itu akan dipecat,kata dia.
Faktor lain, menurut dia,
independensi media masa di Indonesia, khususnya di Papua dikikis oleh
pemerintah. Penayangan berita tentang pelanggran HAM melalui Metro TV beberapa
waktu lalu ditegur oleh pemerintah. Bahkan penayangan Good Bye Indonesia di Aljazeere
juga oleh pemerintah dianggap tidak obyektif dan tidak berimbang.
Sarjana Lulusan Universitas
Indonesia ini menyoroti intansi tertentu di Papua yang kerapkali membayar
wartawan untuk mempublikasikan ide mereka. PT Freeport juga dianggap salah
perusahaan besar yang sering dituding membayar wartawan dan militer.
Ia juga menyayangkan soal ditutupnya
akses jurnalis asing di Papua. Telah lama Pemerintah Indonesia menutup akses
Jurnalis asing ke Papua. Kalau pun ada jurnalis asing yang masuk, mereka harus mendapatkan
izin tertulis dari Mentri Luar Negeri,katanya.
Senada juga disampaikan Gerald
Bidana. Kata dia, sejak tahun 1963, Indonesia mengisolasi Papua dari pantauan
internasional, termasuk jurnalis asing.
Saat ini jurnalis asing dibatasi ke
Papua sejak tahun 1963. Padahal, di Papua itu banyak masalah yang harus
diangkat, mulai dari masalah social hingga masalah politik. Media-media di
Jakarta juga jarang angkat berita obyektif, padahal masyarakat membutuhkan
berita yang objektif, kata Gerald Bidana.(Hery Tebay dan Agus Dogomo/MS)
Editor : Yermias Degei