Sang Jago Tuhan Bekerja di Ladang Tuhan
Foto Pastor Le Cocq d’Armandville Sumber Foto:http://www.blogger.com |
Pater Le Cocq
d’Armandville lahir di Kota Delf, Belanda pada 29 Maret 1846. Ia diberi nama
Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville yang berarti Si Jago dari Armandville.
Dalam Bahasa Perancis nama itu berarti bagaikan tiupan sangkakala.
Menjelang kelulusan
Sekolah Dasar, orang tua Cornelis berencana untuk menyekolahkan Cornelis di
sekolah milik Jesuit. Sekolah ini belum ada di Maastricht sehingga Cornelis
harus sekolah di Gymnasium Jesuit Katwijk yang letaknya di pantai Laut Utara.
Cornelis berpisah dengan orang tuanya. Bukan hal mudah bagi Cornelis untuk
hidup berpisah dari orang tuanya, tetapi ia tetap tabah dan terus berusaha
belajar. Kemauannya untuk belajar mengalahkan kerinduan kepada keluarganya.
Sekalipun terpisah dari orang tuanya, Cornelis membina hubungan baik dengan
keluarganya melalui surat menyurat.
Cornelis tidak
sampai lulus dari Gymnasium di Katwijk. Kemungkinan karena sering sakit
sehingga Cornelis pindah ke Gymnasium Saint Louis di Sittard. Di sekolah
barunya, Cornelis tetap tekun belajar. Ia dikenal paling menonjol dalam Bahasa
Latin dan Belanda, Aljabar, dan Sejarah. Tahun 1865 ia lulus. Ia pulang lalu
menyampaikan keinginannya untuk masuk menjadi Jesuit.
Masa Pendidikan sebagai Jesuit
Pada 26 September
1865 Cornelis Le Cocq d’Armandville berangkat ke Wisma Mariendal, tempat ia
menempuh pendidikan awal (novisiat) sebagai calon anggota Serikat Jesus (SJ).
Selama dua tahun ia menjalani masa pembentukan sebagai novis SJ. Pada 27 September 1867 Frater Cornelis Le
Cocq diizinkan mengucapkan kaul ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan. Dengan
demikian ia menjadi anggota Serikat Jesus.
Setelah menjalani
masa novisiat, ia dan teman-temannya tetap tinggal di Mariendal untuk menempuh
Tahun Yuniorat. Pada masa ini ia mendalami bahasa-bahasa dan kebudayaan,
khususnya kesusastaan klasik. Oktober 1868 Frater Le Cocq berangkat ke Paris
untuk belajar Filsafat. Di sana, ia belajar dengan sepenuh hati. Tak jarang,
karena begitu konsentrasinya dalam belajar Frater Le Cocq sering sakit.
Kepalanya pusing, rasa nyeri menjalar ke lengan dan kakinya. Dokter pun tak
sanggup menyembuhkannya. Bila sedang sakit seperti itu, Frater Le Cocq kerap
merebus daun-daun hop, sejenis tumbuhan menjalar yang biasanya digunakan untuk
membuat bir, lalu meminumnya. “Maka, untuk menghilangkan sakit seperti itu
sebaiknya kita minum bir muda saja,” candanya. Selain belajar Filsafat, Frater
Le Cocq juga sangat aktif sebagai perawat orang-orang sakit.
Frater Le Cocq
menempuh pendidikan keempat sebagai Jesuit yang disebut Tahun Orientasi
Kerasulan (TOK). Frater Le Cocq ditugaskan di Kolese Katwijk. Ia mengajar
bahasa Perancis dan ilmu alam di bekas sekolahnya ini. Setelah dua tahun ia
belajar Teologi di Kota Maastricht. Akhirnya pada 8 September 1876 Frater Le
Cocq ditahbiskan menjadi imam. Tahun 1878 ia menyelesaikan masa Tersiatnya. Ia
pulang ke Maastricht untuk menyampaikan berita kepada kedua orang tuanya: ia
ditugaskan menjadi misionaris di India Belanda. Keluarganya ternyata mendukung
Pater Le Cocq. Maka dengan mantab, Pater Le Cocq menyambut tugas baru itu.
Bekerja
di Tanah Misi
Foto Kapal yang digunakan Pastor Le Cocq d’Armandville Sumber Foto: http://pojokheri.wordpress.com |
Pertengahan
Desember 1878 kapal yang akan mengantarkan Pater Le Cocq mengarungi samudra
menuju India Belanda sudah siap. Sekitar tanggal 20 Desember Kapal Torrington
yang membawanya berangkat meninggalkan Belanda. Setelah singgah di kota Padang
menemui Pater Geelen yang berkarya di sana, kapal yang ditumpangi langsung
menuju kota Batavia (Jakarta). Akhir bulan Januari 1879 kapal tersebut sampai
di Batavia. Pater Le Cocq dan Kolfschoten disambut di pastoran lapangan
Banteng. Mereka mulai mengenal kota Batavia dan pelayanan para misionaris di
sana.
Setelah singgah di
Batavia, Pater Le Cocq menuju Semarang dan Surabaya. Pada bulan Maret 1879
Pater Le Cocq mendapat tugas sebagai pastor pembantu di Semarang. Di sana Pater
Le Cocq bergaul dengan ramah, melayani orang-orang di Semarang dengan cinta
kasih. April 1881 Pater Le Cocq yang sibuk melayani umat di Semarang
dipindahtugaskan ke Maumere. Kehilangan besar dirasakan oleh umat Semarang.
Koran Semarang menulis, “Kemarin, Pater Le Cocq d’Armandville meninggalkan
Semarang. Banyak orang miskin, Protestan maupun Katolik kehilangan orang yang
giat, seorang penghibur, dan penolong.
Ucapan selamat mereka menyertai beliau menuju Pulau Flores yang jauh
itu, di mana ia akan mencoba membudayakan para Inlander.”
Tanggal 28 April
Pater Le Cocq mendarat di Larantuka. Kemudian pada 18 Mei Pater Le Cocq
melanjutkan perjalanan ke Maumere. Perjalanan ke Maumerea sangat berat. Setelah
sampai di Maumere Pater Le Cocq langsung memimpin Misa. Karya di Maumere dengan
demikian dimulai. Pelayanannya sampai di Sikka. Pater Le Cocq mulai menjelajahi
wilayahnya dari Maumere sampai Sikka. Ia berjalan melewati jalan setapak,
menyapa orang-orang yang dijumpainya.
Pater Le Cocq dan
Bruder Amatus Van de Velde yang berkarya di situ kemudian mendirikan sekolah
dengan asrama. Keadaan di Maumere tidak begitu sehat. Bahkan sebelumnya tiga
misionaris wafat setelah terserang penyakit dari Maumere. Februari 1882 Pater
Le Cocq dan banyak warga terkena demam dan diare, padahal persediaan obat sangat
menipis. Dengan kemauan keras, Pater Le Cocq mengajak empat orang pendayung
untuk mengantarnya ke Larantuka guna mengambil obat. Kapal rakyat yang
ditumpangi Pater Le Cocq bak menjadi mainan di laut lepas. Pater Le Cocq
semakin gemetar dan kejang karena sakitnya. Akhirnya, mereka sampai juga di
Larantuka. Tubuh Pater Le Cocq semakin gemetar sehingga harus digotong menuju
pastoran. Sepuluh hari kemudian Pater Le Cocq telah sehat kembali dan siap
kembali ke Maumere membawa obat-obatan yang telah ditunggu umat.
Sekembali dari
Larantuka, Pater Le Cocq membagi obat ke pelosok-pelosok. Tak ayal, Pater Le
Cocq sakit kembali. Ia kemudian diizinkan mengadakan pengobatan di Surabaya.
Pater Le Cocq harus digotong ke kapal rakyat yang akan mengantarnya ke Makasar terlebih
dahulu sebelum ke Surabaya. Seorang mayor, sahabatnya yang ditemui di Makasar
mengatakan, “Pastor, nanti di Surabaya, gantungkanlah jubahmu pada paku dan
jangan mau dibuang lagi ke daerah itu yang memendamkan bakat-bakatmu dan
menghabiskan dirimu di tengah sengsara.” “Mayor, apakah Anda mau membujuk saya
melawan disiplinku dan tidak taat lagi kepada atasan-atasanku?” Sang Mayor
terharu mendengar jawaban Pater Le Cocq yang tulus ingin melayani umat.
Tahun 1891 pimpinan
Serikat Jesus membutuhkan seorang misionaris untuk bekerja di Maluku. Kesedihan
rakyat Sikka memuncak mengetahui Pater Le Cocq harus pindah. Pater Le Cocq
telah mampu menggabungkan 25 kampung kafir dengan kampung Katolik. Membaptis
lebih dari 700 anak. Banyak orang dari penjuru kampung hilir mudik ke pastoran
ketika mendengar Pater Le Cocq hendak pindah. Semua tampak sedih. Di antara
mereka ada yang mengatakan, “Ketika Tuan Le Cocq datang kemari enam tahun lalu,
kita pada pagi hari tidak dibangunkan oleh jago-jago yang berkokok, tidak tampak
adanya babi atau kambing berkeliaran dengan aman; kita tidak menghormati milik
orang lain dan suka minum; kita kelaparan, akan tetapi sekarang ada ayam, babi,
kambing dalam jumlah besar; kita tidak main judi lagi, melainkan mengikuti
Tuhan; itulah berkat Pastor Le Cocq. Senin, 9 November 1891 Pater Le Cocq
meninggalkan Sikka. Orang-orang menangis, menjerit, dan meraung mengiringi
kepergiannya. Hati Pater Le Cocq teriris, tetapi itulah pengutusan Sang
Misionaris.
Tempat baru Pater
Le Cocq adalah Pulau Seram, di Ambon. Pater Le Cocq terus mengadakan kunjungan
dari satu pulau ke pulau lain, dari kampung satu ke kampung lain. Tak jarang
Pater Le Cocq menahan demam, diare, dan sakit di gubuknya yang kecil atau di
kapal kecil yang membawanya terombang-ambing dalam pelayanan kepada umat di
pulau-pulau kecil. Di Pulau Geser Pater Le Cocq sudah mendengar tentang Pulau
Papua, tetapi ia tidak dapat membayangkan tempatnya. Akhirnya, dengan kapal 22
Mei 1894 Pater Le Cocq pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Papua.
Kapalnya mendarat di Kampung Sekeru, di Semenanjung Fakfak. Pater Le Cocq mulai
mengenal orang-orang di sekitarnya. Hari pertama ia sudah membaptis 8 anak
menjadi Katolik. Sembilan hari kemudian ia membaptis 65 anak lagi. Ia terus ke
gunung-gunung mencari orang-orang yang tinggal di sana.Bulan Juni 1894 Pater Le
Cocq sudah kembali ke Bomfia. Pater Le Cocq berpikir lebih baik ia tinggal di
Pantai Papua dan dari sana sewaktu-waktu melayani umatnya di Pulau Seram,
Bomfia. April 1895 Pater Le
Cocq bersalaman dengan komunitas Jesuit di Langgur. Ia menuju Pulau Papua
ditemani Bruder Zinken dan Bruder te Boekhorst. Dua bruder itu sama-sama
bersemangat memulai misi di Papua. Perjalanan ternyata sangat melelahkan. Pater
Le Cocq jatuh sakit. Tubuhnya lemah, demam, dan ia jatuh pingsan. Saat tiba di
daratan hujan turun dengan lebat. Kedua bruder dibantu beberapa penduduk
berusaha menata papan sebagai gubuk sementara. Pater Le Cocq terbaring pingsan
di papan yang ditata seadanya. Saat itu awal Mei. Mereka membuka bulan Mei
dengan doa rosario.
Setelah beberapa
hari tinggal di pinggir pantai, mereka mendirikan pastoran 150 meter dari
Pantai Besar. Pater Le Cocq lalu bekerja dan membaptis 86 anak lagi. Ia tekun
mengajar dan mengobati orang-orang yang sakit. Pater Le Cocq tekun belajar
bahasa daerah meskipun usianya sudah memasuki 50 tahun. Bruder te Boekhorst
lalu kembali ke Langgur. Pater Le Cocq tinggal bersama Bruder Zinken.
Pada akhir tahun
stasi Kapaur kedatangan tamu istimewa. Pater Julius Keijzer, Superior Misi
Serikat Yesus di Indonesia mengunjungi Kapaur. Pater Keijzer sangat terkejut
melihat kondisi Pater Le Cocq yang sangat kurus dan terlihat lemah. Pater
Keijzer bermaksud mengajak Pater Le Cocq berlibur ke Jawa untuk memulihkan
kesehatannya. Tetapi Pater Le Cocq menjawab, “Selama belum ada Pater yang
mengganti saya dan mengambil alih pekerjaan, saya akan menderita batin karena
jiwa-jiwa yang kutinggalkan. Di mana pun saya berada, saya tidak akan menemukan
sesuatu yang dapat menyembuhkan derita hati saya.”
Pater Le Cocq
justru sekalian minta izin kepada Pater Superior untuk mengadakan pelayaran
yang telah direncanakan. Pater Le Cocq bermaksud menyelidiki keadaan rantau di
pantai arah sebelah Timur sampai titik 138 atau 139 derajat. Pater Le Cocq
ingin menemukan tempat yang lebih padat dan iklimnya lebih bagus bagi karya
penyebaran Injil. Pater Superior
terpaksa mengizinkan Pater Le Cocq untuk mengadakan perjalanan itu setelah
Pater Le Cocq berjanji setelah perjalanan selesai ia akan segera ke Jawa.
Bulan Maret 1896
Kapal Al Bahanasa yang disewa Pater Le Cocq tiba. Kapten Pieter Salomon
memerkenalkan awak kapalnya kepada Pater Le Cocq. Tanggal 5 Maret 1896 kapal
itu berangkat dari Pulau Bone, Kapaur.
Akhir
Misi
Pertengahan bulan
Mei mereka tiba di depan Pantai Mimika pada bujur timur 135 derajat 45 menit.
Pater Le Cocq, seorang pedagang, dan seorang penerjemah dari Seram turun dari
kapal. Karena ombak yang besar, kapal mendarat di tengah pantai, mereka
menumpang sekoci untuk sampai di darat. Pater Le Cocq kemudian tinggal di
pantai itu kira-kira 13 hari. Pater Le Cocq mengobati orang-orang di sana dan
mulai mengajar dengan bantuan seorang penerjemah.
Tiba waktunya
Pieter Salomon menyampaikan pesan bahwa kapa Al Bahanasa akan segera kembali.
Tanggal 26 Mei 1896 barang-barang Pater Le Cocq mulai dimasukkan ke dalam
kapal. Saat itu cuaca semakin terlihat memburuk. Tanggal 27 Mei 1896 Pater Le
Cocq yang sudah berada di atas kapal kembali ke darat hendak melunasi barang
dan menjemput anak-anak yang akan dibawa ke Kapaur. Kapal sekoci yang
mengantarkan Pater Le Cocq ke pantai terombang-ambing walau akhirnya sampai di
darat juga. Setelah semua urusan di darat selesai, sore menjelang petang Pater
Le Cocq meminta diri pada orang-orang di pantai. Ombak sudah semakin besar,
tetapi Pater Le Cocq tetap bertekad menuju kapal Al Bahanasa yang telah lama
menunggunya di tengah pantai. Sekoci itu berusaha menembus ombak pantai yang
ganas. Lautan terlihat sungguh mengerikan, ombak datang menghempas sekoci kecil
yang membawa Pater Le Cocq. Akhirnya sekoci itu tertuling ke laut.
Barang-barang di sekoci berhampuran ke laut. Masih ada yang melihat Pater Le
Cocq berusaha menepi bersama seorang anak yang ada di pelukannya. Tetapi setiba
di darat anak kecil itu tinggal seorang diri. Dia menunjuk ke laut ketika
ditanya di mana Pater Le Cocq berada.
Mengetahui Pater Le
Cocq tidak muncul di daratan, para penduduk mulai mencari Pater Le Cocq di
pinggir-pinggir pantai. Beberapa perahu dan pendayung siang malam mencari,
tetapi tidak menemukan jenasah Pater Le Cocq d’Armandville. Mereka menangis dan
bersedih dengan hilangnya pater yang telah merebut hati mereka. Kapal Al
Bahanasa yang menunggu harus segera mengangkat jangkar melanjutkan perjalanan
ke Kapaur. Mereka menuju Bruder Zinken yang sejak Maret ditinggal kesepian
sendirian, mengabarkan kabar menyedihkan itu.
Di Kapaur Bruder
Zinken telah lama menunggu Pater Le Cocq. Bruder Zinken sempat ke Seram untuk
mencari keperluan dapur dan lainnya. Sewaktu hendak ke Seram, bruder bertemu
dengan Pater van der Heijden yang sedang dalam pelayaran dari Ambon ke Kei.
Pater Heijden singgah di Kapaur menemani Bruder Zinken. Tanggal 18 Juni kapal
yang dinanti-nanti Bruder Zinken muncul. Tetapi tak terlihat orang yang
dinanti-nantikannya. Kapten Kapal Pieter Salomon akhirnya menyampaikan kabar
duka cita itu: Pater Le Cocq d’Armandville tewas ditelan ombak. Jasadnya tidak
ditemukan.
Tak dapat
dilukiskan kesedihan hati kedua jesuit itu, apalagi bagi Bruder Zinken yang
telah lama mengenal Pater Le Cocq d’Armandville. Hati mereka tersayat. Pater Le
Cocq hidup sebagai seorang ksatria dan tewas laksana ksatria juga. Pater Le
Cocq tewas pada usia 50 tahun. Kapal Al Bahanasa yang menyiarkan kabar kematian
Pater Le Cocq sampai di Banda Neira. Karena melihat ada beberapa hal ganjil
seputar kematian Pater Le Cocq, Nahkoda Pieter Salomon diperiksa di Kantor
Pengadilan Banda Neira. Tetapi pengadilan tidak dilanjutkan. Gereja
menghentikan penyelidikan karena melihat tidak perlu melanjutkan perkara itu.
Awak kapal Al-Bahanasa juga telah pergi. Kematian Pater Le Cocq ternyata
merupakan akhir karya misi di Papua, paling tidak untuk waktu yang lama. 15
Juli 1896 Pater van der Heijden bersama Bruder Zinken meninggalkan Kapaur
menuju Langgur. Berakhirlah tahap pertama misi Kapaur. Di sana ditinggal 100-an
orang yang sudah dipermandikan. Tanah Papua mengharap kembali seorang
misionaris yang menyebar cinta kasih seutuhnya. Kematian Pater Le Cocq, Sang
Misionaris bertubuh kuat, berkemauan keras, tahan menanggung sakit, sepi, dan
sendiri, tekun melayani umat, dan seorang yang akrab dengan Tuhan yang
mengutusnya ini menjadi lahan subur bagi berkembangnya kekatolikan di Papua. (HHS)
Diringkas dari R.
Kurris, SJ. 2001. Sang Jago Tuhan. Yogyakarta: Kanisius