Bagi teman-teman yang ingin menyumbang tulisan, kirim ke Email : mahasiswakatolikpapua@gmail.com
Home » » MAKRAB FKPMKP “Teologi Pembebasan”

MAKRAB FKPMKP “Teologi Pembebasan”

Written By Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Katolik Papua Daerah Istimewa Yogyakarta on Senin, Desember 17, 2012 | Senin, Desember 17, 2012


Oleh Fransiskus Kasipmabin

Diskusi tentang Teologi pembebasan menurut Leonardo Woof dan Gustavo Guteres pada dasarnya merupakan berbicara tentang kristologi pembebasan dan pembebasan dari penindasan akibat ekonomi, politik, militer, sosial, budaya dan agama. Kristologi pembebasan karena pembebasan menurut pandangan orang Yahudi bahwa akan ada seseorang yang akan datang membebaskan, mewartakan, meluruskan masayakat di dunia ini. Seperti disampaikan oleh Nabi Yesaya bahwa “ada seseorang yang akan datang membebaskan kita”. Karena yesus dilahirkan di yerusalem dan dibesarkan lalu melakukan aktifitas kesehariannya di Israel diantara orang yahudi. Yesus adalah orang yahudi dan menentang pemerintahaan yahudy dari berbagai aspek diantaranya menentang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan hukum yang dianut orang yahudi. Ajaran Yesus menentang hukum orang yahudi pada hal sistem pemerintahaan yang membuat orang Yahudi semakin tidak berdaya dan mengikuti sistem pemerintahan. Persoalan ekonomi di masyarakt yahudi membuat yesus menantang pemerintah, yang menjadi tantangan bagi yesus sehingga mengorbankan dirinya untuk disalipkan.


Berbagai macam kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu ada keliru dalam mengambil keputusan. Keliru dalam mengambil keputusan, berdampak pada proses impelementasi dan maupun hasil yang dicapai atas suatu hal yang disepakati oleh pemerintah. Persoalan pemerintah akhir-akhir ini sangat banyak seperti Resulf cabinet pemerintahaan SBY II dengan menambah wakil menteri dengan alasan yang salah satunya adalah mengurangi beban kerja menteri. Namun sayangnya beban biaya pegawai bertambah berat, sedangkan semasa pemerintahaan SBY selama kurang lebih 7 tahun banyak penyalagunaan kewenangan dan anggaran, pembrosan anggrakan, kurang transpransi anggran pemerintah dari Badan Anggaran (BANGGAR). Selama 7 tahun kepemimpinan SBY menggelapkan anggran sebesar 307 Trilun. Public mempertanyakan anggaran tersebut dikemanakan? Lebih lagi masalah Papua yang belum ditanggapi oleh pemerintah pusat, terutama akhir-akhir ini kisruh karyawan perusahaan pertambangan preeport. Pemogokan karyawan karena upah karyawan yang disepakati tidak di jawab atau ditanggapi oleh para penguasa (capital amerika) perusahaan dan masalah-masalah lain di papua terselesaiakan dengan baik.

Dengan demikian lahirlah teologi pembebasan untuk sama-sama melihat persoalan dan sama-sama membebaskan segala persoalan baik persoalan politik, sosial, budaya, agama, dan ekonomi untuk mempersatukan kelas-kelas sosial. Sebelum berbicara jauh tentunya melihat kembali apa itu teologi pembebasan? Berbicara tentang teologi pembebasan tidak lepas dari lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.

Kebijakan politik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membawa dampak yang luar biasa. Luar biasa karena menyengsarakan rakyat, kebjakan politik yang diambil tidak mengarah pada kepentingan umum, tetapi mengarah pada kepentingan piribadi. Misalkan saja berbicara tentang UU intelyen Negara. Bahkan samapai meloloskan ke parlemen. Menurut hemat penulis mengesahkan UU tersebut karena kepentingan Negara-negara korporat seperti kepentingan amerika, Rusia, Inggiris, dan Australia. 

Dengan demikian Permulaan teologi pembebasan ditetapkan Erique Dussel pada tahun 1564 ketika Bartolome de Las Casas, sebagai cikal bakal teologi pembebasan, mengatakan bahwa dia merasa dipilih Tuhan menjadi pelayan untuk mengangkat martabat orang-orang Indian yang telah dirampas kebebasannya dengan tidak adil. Dussel juga memberi nama “teologi kenabian” pada teologi dari zaman de Las Casas tersebut yang memperjuangkan hak hidup orang India. Cikal bakal teologi pembebasan tersebut tenggelam pada masa kolonialisasi (1553-1808). Pada masa ini, “teologi Kerajaan Kristiani” mulai memberi pengaruhnya. Teologi tersebut bercirikan “menutupi dan menyembunyikan praktik ketidakadilan.” Tahap perkembangan selanjutnya adalah “teologi emansipasi politik” (1808-1831) yang timbul sebelum kemerdekaan dan memperjuangkan persamaan dalam politik dan kehidupan kemasyarakatan. Kemudian teologi tersebut digantikan oleh “teologi konservatif” yang mempertahankan neokolonial. “Teologi Kerajaan Kristiani Baru” (1930-1962) muncul kembali dengan memusatkan perhatian pada keprihatinan sosial. Teologi pada masa ini masih menggunakan cara berteologi rasioanilistis spekulatif sebagaimana teologi klasik barat. Munculnya teologi tersebut ditandai dengan timbulnya gerakan sosial Prancis dan Amerika Latin, pusat studi sosial Centro Belarmino di Santiago, terbentuknya Konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM), dan pembaharuan studi Kitab Suci di mana-mana.


Bagi Segundo dan Dussel, tahap perkembangan teologi pembebasan selanjutnya diperkirakan kurang lebih “sebelum gelombang pertama Konsili Vatikan II” (1962). Sedangkan, Vidales mengatakan bahwa pembentukan refleksi teologi pembebasan ditempatkan pada tahun 1965, tahun terbitnya konstitusi pastoral Gaudium et Spes. Pada tahap ini masih dibagi lagi menjadi tiga bagian perkembangan. Pertama, berlangsung dari tahun 1962 sampai konferensi para uskup Amerika Latin di Medellin, tahun 1968. Pada kurung waktu ini teologi pembebasan masih mempunyai ciri tinjauan kemasyarakatan yang dipengaruhi oleh aliran ilmu sosial, “pertumbuhan ekonomi” atau “pembangunan” (development).

Paham teologi pembebasan di Indonesia suda lama diperbincangkan namun belum ada realisasi dengan tindakan konkrit,tetapi menambah dan memperbesar tingkat penindasan baik dari Negara-negara pemodal maupun penguasa-peguasa politik dan ekonomi lokal. Para pemimpin papua meinindas rakyatnya sendiri dengan menghambur-hamburkan uang otonomi khusus. Sayangnya lagi uannya diberikan begitu saja tanapa pendampingan dan kontroling terhadap peredaran uang di masyarakat. 

( Penulis:  Mahasiswa Universitas Sanata Dharma)

Sumber: Blog. Komapa.org