Oleh Fransiskus Kasipmabin
Diskusi tentang Teologi
pembebasan menurut Leonardo Woof dan Gustavo Guteres pada dasarnya merupakan
berbicara tentang kristologi pembebasan dan pembebasan dari penindasan akibat
ekonomi, politik, militer, sosial, budaya dan agama. Kristologi pembebasan karena
pembebasan menurut pandangan orang Yahudi bahwa akan ada seseorang yang akan
datang membebaskan, mewartakan, meluruskan masayakat di dunia ini. Seperti
disampaikan oleh Nabi Yesaya bahwa “ada seseorang yang akan datang membebaskan
kita”. Karena yesus dilahirkan di yerusalem dan dibesarkan lalu melakukan
aktifitas kesehariannya di Israel diantara orang yahudi. Yesus adalah orang
yahudi dan menentang pemerintahaan yahudy dari berbagai aspek diantaranya
menentang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan hukum yang dianut orang yahudi.
Ajaran Yesus menentang hukum orang yahudi pada hal sistem pemerintahaan yang
membuat orang Yahudi semakin tidak berdaya dan mengikuti sistem pemerintahan.
Persoalan ekonomi di masyarakt yahudi membuat yesus menantang pemerintah, yang
menjadi tantangan bagi yesus sehingga mengorbankan dirinya untuk disalipkan.
Berbagai macam kebijakan yang
diambil oleh pemerintah selalu ada keliru dalam mengambil keputusan. Keliru
dalam mengambil keputusan, berdampak pada proses impelementasi dan maupun hasil
yang dicapai atas suatu hal yang disepakati oleh pemerintah. Persoalan
pemerintah akhir-akhir ini sangat banyak seperti Resulf cabinet pemerintahaan
SBY II dengan menambah wakil menteri dengan alasan yang salah satunya adalah
mengurangi beban kerja menteri. Namun sayangnya beban biaya pegawai bertambah
berat, sedangkan semasa pemerintahaan SBY selama kurang lebih 7 tahun banyak
penyalagunaan kewenangan dan anggaran, pembrosan anggrakan, kurang transpransi
anggran pemerintah dari Badan Anggaran (BANGGAR). Selama 7 tahun kepemimpinan
SBY menggelapkan anggran sebesar 307 Trilun. Public mempertanyakan anggaran
tersebut dikemanakan? Lebih lagi masalah Papua yang belum ditanggapi oleh
pemerintah pusat, terutama akhir-akhir ini kisruh karyawan perusahaan
pertambangan preeport. Pemogokan karyawan karena upah karyawan yang disepakati
tidak di jawab atau ditanggapi oleh para penguasa (capital amerika) perusahaan
dan masalah-masalah lain di papua terselesaiakan dengan baik.
Dengan demikian lahirlah teologi pembebasan
untuk sama-sama melihat persoalan dan sama-sama membebaskan segala persoalan
baik persoalan politik, sosial, budaya, agama, dan ekonomi untuk mempersatukan
kelas-kelas sosial. Sebelum berbicara jauh tentunya melihat kembali apa itu
teologi pembebasan? Berbicara tentang teologi pembebasan tidak lepas dari
lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi pembebasan adalah suatu
usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret
di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang
dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Teologi Pembebasan
merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka
mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan
agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Kebijakan politik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah membawa dampak yang luar biasa. Luar biasa
karena menyengsarakan rakyat, kebjakan politik yang diambil tidak mengarah pada
kepentingan umum, tetapi mengarah pada kepentingan piribadi. Misalkan saja
berbicara tentang UU intelyen Negara. Bahkan samapai meloloskan ke parlemen.
Menurut hemat penulis mengesahkan UU tersebut karena kepentingan Negara-negara
korporat seperti kepentingan amerika, Rusia, Inggiris, dan Australia.
Dengan
demikian Permulaan teologi pembebasan
ditetapkan Erique Dussel pada tahun 1564 ketika Bartolome de Las Casas, sebagai
cikal bakal teologi pembebasan, mengatakan bahwa dia merasa dipilih Tuhan
menjadi pelayan untuk mengangkat martabat orang-orang Indian yang telah
dirampas kebebasannya dengan tidak adil. Dussel juga memberi nama “teologi
kenabian” pada teologi dari zaman de Las Casas tersebut yang memperjuangkan hak
hidup orang India. Cikal bakal teologi pembebasan tersebut tenggelam pada masa
kolonialisasi (1553-1808). Pada masa ini, “teologi Kerajaan Kristiani” mulai
memberi pengaruhnya. Teologi tersebut bercirikan “menutupi dan menyembunyikan
praktik ketidakadilan.” Tahap perkembangan selanjutnya adalah “teologi
emansipasi politik” (1808-1831) yang timbul sebelum kemerdekaan dan
memperjuangkan persamaan dalam politik dan kehidupan kemasyarakatan. Kemudian
teologi tersebut digantikan oleh “teologi konservatif” yang mempertahankan
neokolonial. “Teologi Kerajaan Kristiani Baru” (1930-1962) muncul kembali
dengan memusatkan perhatian pada keprihatinan sosial. Teologi pada masa ini
masih menggunakan cara berteologi rasioanilistis spekulatif sebagaimana teologi
klasik barat. Munculnya teologi tersebut ditandai dengan timbulnya gerakan
sosial Prancis dan Amerika Latin, pusat studi sosial Centro Belarmino di
Santiago, terbentuknya Konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM), dan
pembaharuan studi Kitab Suci di mana-mana.
Bagi Segundo dan Dussel, tahap
perkembangan teologi pembebasan selanjutnya diperkirakan kurang lebih “sebelum
gelombang pertama Konsili Vatikan II” (1962). Sedangkan, Vidales mengatakan
bahwa pembentukan refleksi teologi pembebasan ditempatkan pada tahun 1965,
tahun terbitnya konstitusi pastoral Gaudium et Spes. Pada tahap ini masih
dibagi lagi menjadi tiga bagian perkembangan. Pertama, berlangsung dari tahun
1962 sampai konferensi para uskup Amerika Latin di Medellin, tahun 1968. Pada
kurung waktu ini teologi pembebasan masih mempunyai ciri tinjauan
kemasyarakatan yang dipengaruhi oleh aliran ilmu sosial, “pertumbuhan ekonomi”
atau “pembangunan” (development).
Paham teologi pembebasan di
Indonesia suda lama diperbincangkan namun belum ada realisasi dengan tindakan
konkrit,tetapi menambah dan memperbesar tingkat penindasan baik dari
Negara-negara pemodal maupun penguasa-peguasa politik dan ekonomi lokal. Para
pemimpin papua meinindas rakyatnya sendiri dengan menghambur-hamburkan uang
otonomi khusus. Sayangnya lagi uannya diberikan begitu saja tanapa pendampingan
dan kontroling terhadap peredaran uang di masyarakat.
( Penulis: Mahasiswa Universitas
Sanata Dharma)
Sumber: Blog. Komapa.org